Thursday, April 17, 2008

Eulogy. Lisa: Live, Lupus & Lacan.


Telepon selularku bergetar di hari Sabtu saat rapat. Sebuah sms masuk. Entah kenapa ada desakan untuk segera membacanya. Ternyata sms dari Lisa Lukman, sebuah ratapan:


TanganNya menekanku siang dan malam.
Tubuhku disesahNya.
Tidak sedikitpun Dia memberi kelegaan padaku.
Airmataku sudah kering, tubuhku ngilu,
dan doa-doaku seperti hilang terbawa angin
Tapi aku tetap memilih dekat denganNya
dan biarlah tubuhku hancur karena tanganNya.


Itulah sms terakhir yang kuterima darinya karena Senin dini hari, 14 April 2008, setelah tiga tahun bergumul dengan Lupus, dalam usia 32 tahun, ia kembali ke pangkuan Bapa Sorgawi yang sangat mengasihinya.

Siapa Lisa Lukman? Mengapa saya harus mengenalkannya? Saya akan membagi cerita ini dalam 3 bagian. Bacalah terus cerita saya dan anda akan mengerti mengapa.


LISA & LIVE


Ia sangat mencintai kehidupan. Mungkin karena merasa hidupnya akan singkat. Ia sendiri menyatakan demikian pada saya belasan tahun yang lalu dan menyatakannya lagi seminggu sebelum kepergiannya. Anugrah yang ’aneh’.

Di rumah duka saya bertemu dengan seseorang yang pernah diceritakannya, orang yang memuridkannya pada Kristus semasa SMA di Tanjung Karang. Ko Riko, demikian Lisa menyebutnya, semasa praktek setahun di Lampung berdoa meminta Tuhan memberinya seorang murid. Jadilah Lisa buah pertamanya yang kemudian juga menjadi ketua remaja di gereja tersebut.

Sejak itu Lisa tidak pernah berhenti menyerahkan hidupnya melayani Penebus dan Juruselamatnya, Tuhan Yesus. Ketika melanjutkan studi di Bina Nusantara, bekerja di majalah anak-anak KITA, menjadi pembina remaja di GRII Pusat, menjadi pembicara remaja di gereja lain, menyanyi di JOS serta terlibat dalam berbagai kepanitiaan gereja, Lisa terus aktif dalam pelayanan gerejawi. Selain itu, ia juga ikut kuliah STRIJ, SBWK dan aktif di komunitas RSI yang dipimpin pdt. Joshua Lie yang membawanya mengenal worldview Kristen. Dalam komunitas ini pulalah ia menemukan partner yang lain yaitu filsafat.

Setelah bekerja beberapa tahun di majalah KITA, ia sempat bergabung dalam pelayanan Pdt. Yohan Cam dan Pdt Yung Tik Yung. Sesudah beberapa lama, Lisa kemudian memutuskan untuk bekerja di luar pelayanan grejawi untuk mulai mengumpulkan dana bagi kelanjutan studinya.

Berhenti dari Asian Agri, ia mengejutkan saya dengan keputusannya untuk mengambil S1 Filsafat di STF Driyakara. Lho, mengapa bukan teologi? Sebagai sahabatnya saya menentang ide tersebut. Saya khawatir ia akan seperti sahabat lama saya yang meninggalkan iman Kristennya karena terpikat filsafat postmodern. Tapi dengan yakin ia mengatakan bahwa ini pimpinan Tuhan. Saya tetap tidak yakin. Ini membuat relasi kami sempat memburuk.

Tapi Lisa adalah Lisa. Tidak ada yang dapat merubah keputusannya, kecuali Tuhan sendiri. Ia di terima di STF dan memulai kuliahnya sambil bekerja paruh waktu. Dalam beberapa tahun terakhir hidupnya ia juga aktif di ICRP, sebuah organisasi nirlaba yang giat mengembangkan dialog dan kerjasama antar agama/iman.

Saya jadi tersenyum melihat banyaknya mereka yang memakai atribut agama Islam datang ke rumah duka. Itu adalah wajah Lisa yang lain. Lisa yang anti rasialisme, Lisa yang merayakan perbedaan. Lisa yang mengawali hidupnya dengan mandat Injil dan menutupnya dengan mandat budaya, menjadi sebuah keutuhan yang indah.


LISA & LUPUS


Setahun lebih kuliah, Lisa mendapat sebuah anugrah, sakit Lupus. Lupus? Ya. Belum pernah dengar? Sedikit perkenalan untuk penyakit wanita ini karena yang diserang umumnya adalah wanita dan berusia produktif (15-45 tahun).

Lupus atau ’serigala’ adalah penyakit yang sampai hari belum diketahui penyebabnya namun melibatkan faktor lingkungan dan genetika. Faktor lingkungan yang menjadi pemicu adalah infeksi, antibiotik, sinar matahari, stress yang ekstrim, obat-obat tertentu dan hormon. Anehnya lagi, penyakit ini rada diskriminatif karena yang banyak diserang adalah orang Afrika dan Asia. Tidak jelas mengapa demikian. Hanya Tuhan yang tahu.

Penyakit yang tidak menular ini dikenal sebagai penyakit dengan seribu wajah. Disebut begitu karena simptomnya yang seringkali tidak sama pada setiap orang. Penyakit ini membuat sistem kekebalan tubuh sangat kuat bahkan menjadi membabi buta, tidak dapat lagi membedakan mana lawan mana kawan. Jika Lupus menyerang, ia akan melakukan kapan saja ia mau dan menyerang apa saja yang ia inginkan, mirip serigala sifatnya.

Lupus membawa Lisa mengenal yayasan Lupus Indonesia dan menjadi anggotanya. Yayasan ini pula yang banyak memberikan informasi dan dukungan bagi Lisa dalam berhadapan dengan Lupus. Bahkan beberapa jam sebelum menghela nafas terakhir, rekan-rekan yayasan Lupus sempat membesuknya.

Sempat bercakap-cakap dengan mereka di rumah duka, saya terharu melihat rasa solidaritas mereka yang kuat. Ikatan yang dibangun berdasarkan penyakit. Saya jadi membandingkan dengan orang Kristen, yang sedang dibebaskan dari penyakit kronis yang mematikan yaitu dosa. Dapatkah kita menunjukkan ikatan yang jauh lebih indah? Alkitab mengatakan bahwa orang Kristen diikat oleh cinta Kristus dan merupakan satu tubuh, tetapi mengapa kita seringkali gagal menyatakannya?

Saat diberitahu bahwa Lupus yang dialami Lisa adalah unik - kasus yang jarang - karena menyerang otak, Lisa menangis. Ia tidak takut menghadapi penyakitnya tapi ia merasa tidak sanggup untuk lebih lama lagi hidup dalam belas kasihan orang lain, karena penyakit Lupus adalah penyakit yang membutuhkan biaya yang cukup besar. Saya terenyuh pilu, bukankah dalam 1 Korintus 12:22 dikatakan bahwa anggota tubuh yang nampaknya paling lemah justru yang paling dibutuhkan?

Tiga tahun sudah Lisa terserang Lupus. Dan tiga tahun adalah waktu yang cukup singkat karena penderita Lupus dapat bertahan sampai belasan bahkan puluhan tahun. Tiga tahun sudah Lisa berjuang untuk bersahat dengan Lupus. Sulit sekali katanya, terutama jika sedang mendapat serangan karena serangan Lupus itu melumpuhkan dan sangat menyakitkan, seperti yang diungkapkannya dalam sms-nya.

Puji Tuhan, Lupus tidak pernah dapat melumpuhkan semangat belajarnya, perjuangannya untuk memenuhi pimpinan Tuhan. Sebulan sebelum berpulang, skripsinya selesai dan sudah disetujui. Meski kuliahnya yang hanya tinggal dua bulan tidak selesai, nilai prestasi akademiknya termasuk yang memuaskan.


LISA: LACAN (1901-1981)


Filsuf Perancis ini meneruskan pikiran psikoanalisa Freud. Tapi ia melakukan sejumlah terobosan di dalamnya dan mengawinkannya dengan filsafat sehingga menghasilkan pemikiran yang rumit. Skripsi Lisa yang berjudul ”Aku adalah Yang Lain. Subyek menurut Jacques Lacan” merupakan pembahasan yang menarik mengenai pencarian manusia akan dirinya.

Skripsi Lisa adalah skripsi pertama di STF Driyakara mengenai Jacques Lacan. Skripsi yang telah disetujui oleh pembimbing Lisa, seorang profesor terkemuka di STF, seyogyanya disidangkan 21 April ini. Skripsi yang sudah kelar sebulan sebelum kepergiannya ini mendapat pujian dari pembimbingnya. Bersyukur Lisa sudah mengetahui hal itu dan memberi penghiburan baginya ketika harus melewati hari-hari yang membosankan di rumah sakit.

Saat skripsi itu sudah selesai dan mendapat pujian, Lisa mengatakan pada saya bahwa misinya di STF sudah tercapai. Saya terharu karena misi yang dikatakannya itu adalah kalimat yang sama yang diucapkannya 4 (empat) tahun yang lalu! Misinya? Menunjukkan kepada STF dan komunitas filsafat bahwa seorang yang beriman kepada Yesus Kristus dapat berfilsafat dengan baik.

Di akhir hidupnya, saya melihat potret Lisa Lukman yang lebih utuh. Lisa yang menulis tentang kerumitan pikiran Lacan adalah Lisa yang menggumuli dunia filsafat sebagai bagian dari pengabdiannya pada sang Juruslamat. Lisa yang bergumul dengan penyakit Lupus adalah Lisa yang melihat kesakitannya sebagai salah satu anugrah terindah Tuhan. Lisa yang merayakan keragaman adalah Lisa yang melihat perbedaan sebagai keindahan yang Tuhan berikan.

Dalam enam bulan terakhir hidupnya, saya sungguh merasakan betapa Tuhan telah mengangkat jiwanya ke tempat yang lebih tinggi. Pergulatannya dengan filsafat, penyakit Lupus, dialog antar agama dan keuangan yang terbatas, membuatnya makin mengenal Tuhan dan dirinya di hadapan Tuhan. Puji Tuhan, Ia yang telah memulai pekerjaan baik dalam diri Lisa, Ia pula yang menggenapinya.


Au revoir, Lisa. See you in heaven.


SOLi DEO GLORIA.

Sunday, January 6, 2008

FREE GIFT

Free gift, suatu cara yang sering dipakai untuk mendongkrak penjualan sebuah merek. Kita bisa menemukan iklan media cetak yang berbunyi kurang lebih "gratis untuk pembelian X rupiah". Atau beli 2 gratis 1. Lalu dirak tempat memajang produk di supermarket, kita sering menemukan sebuah botol pembersih lantai yang menggendong sebuah sabun pencuci ukuran kecil, sebagai hadiah membeli pembersih lantai tersebut. Bahkan ada yang memberikan layanan gratis 1 kali untuk perawatan kecantikan 10. Pokoknya seputar ide-ide itulah yang namanya free gift diberikan.

Tapi apakah free gift itu benar-benar free? Yang bener aja, hari gini? Bukan cuma di hari gini, tapi juga di hari dulu. Makanya ada istilah "There is no free lunch." Mana ada yang gratong, man! Terus kenapa dinamakan free gift kalau ternyata tidak gratis? Ya namanya juga usaha. Habis kalau tidak dinamakan free gift, lalu mau dinamakan apa?

Lalu apakah pembeli atau konsumen menyadari bahwa free gift yang mereka terima itu sesungguhnya tidaklah free tetapi sebuah potongan harga untuk mendorong mereka membeli produk yang bersangkutan? Pasti ada yang menyadari, tapi umumnya tidak. Kebanyakan mereka menganggap free gift itu sebagai hadiah gratis dan tidak menyadari bahwa mereka harus mengeluarkan sejumlah uang untuk membeli produk tersebut. Mereka cukup senang dengan hadiahnya dan menganggap itu gratis. Take it for granted.

Kemudian jika kita mencoba menantang persepsi mereka, maka mereka akan mengutip kalimat Gus Dur: "Akh gitu aja kok repot". Atau bisa juga mereka akan menjawab: "Ya, mana ada yang benar-benar gratis. Ini juga sudah bersyukur." Lalu kemudian mereka percaya bahwa tidak ada yang benar-benar gratis. Mereka lupa bahwa oksigen yang mereka hirup setiap hari adalah gratis. Mereka lupa bahwa otak, jantung, empedu dan segala macam jeroan dalam tubuh mereka didapat secara gratis. Mereka tidak ingat bahwa anak-anak mereka adalah pemberian cuma-cuma karena Tuhan pernah tidak jualan bayi.

Apa akibatnya waktu kita percaya bahwa there is no free stuff at all and everything comes with a tag price?

Alkitab mengatakan Injil adalah anugrah Allah untuk manusia, diberikan secara cuma-cuma tanpa menarik bayaran sepeserpun. Ada banyak ayat Alkitab yang menyebutkan hal ini, tapi saya akan mengutip sebuah ayat saja dari surat Roma pasal 3 ayat 24:
... dan oleh kasih karunia (kita) telah dibenarkan dengan cuma-cuma karena penebusan dalam Yesus Kristus.

Setiap orang sudah jatuh dalam dosa dan berdosa. No one is sinless and flawless! Keberdosaan kita menjadikan kita musuh Allah, karena Allah yang maha suci membenci dosa. Tetapi, puji Tuhan, dalam Tuhan Yesus, kita beroleh pengampunan dan penebusan. Lewat karya Tuhan Yesus di salib, kita dibenarkan dan diperdamaikan dengan Allah. Dan ini semua kita terima dengan gratis, cuma-cuma. Keselamatan adalah free gift dari Tuhan untuk kita. Dan asli gratis. Lho, kok bisa gratis? Kenapa keselamatan bisa gratis? Bukankah keselamatan adalah suatu hal yang sangat mahal dan bernilai? Yes, of course, it's priceless. That's why we cannot afford it if it comes with a price tag.

Keselamatan jiwa kita adalah sesuatu yang tak ternilai! So, kalau demikian tak ternilai, bagaimana kita mampu mendapatkannya? Itulah, karena Tuhan tahu kita tak mungkin dan tak akan pernah bisa mendapatkannya, maka diberikan secara cuma-cuma.

So then, is salvation free? Ya. Sekali lagi, keselamatan itu gratis bukan karena worthless tapi sebaliknya karena priceless. Coba baca ayat yang sangat terkenal ini baik-baik: Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan AnakNya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepadaNya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal (Yohanes 3:16).

Salvation comes with love as its price. Keselamatan datang dengan cinta sebagai harganya. Berapa harga cinta? Tidak terbatas, karena Allah adalah cinta itu sendiri (1 Yohanes 4:8). Masih ingat kalimat bijak ini "you can buy sex but not love?" Siapa yang dapat membeli cinta, apalagi cinta sejati?

Berbahagialah mereka yang sudah menerima, hadiah gratis yang terindah yaitu keselamatan jiwa mereka di dalam Tuhan Yesus Kristus. Kiranya hidup mereka berpadanan dengan hadiah yang terindah itu.

Untuk mereka yang belum mendapatkan hadiah gratis yang tak ternilai itu, inilah saatnya. Bukalah hatimu dan datanglah padaNya. Kiranya Roh Kudus sungguh bekerja dalam hati saudara.

Soli Deo Gloria.

SAFETY FIRST

Safety First. Utamakan selamat. Istilah penting ini di negara kita seringkali cuma sekedar slogan basa-basi. Meskipun kita sangat mementingkan keselamatan (safety) tapi dalam realita, ini hanya angan semata.

Negara-negara maju, sangat memperhatikan keselamatan. Karena nyawa tidak ternilai harganya. Tidak heran kalau Uni Eropa sempat (atau masih ya?) melarang warganya terbang dengan pesawat berbendera Indonesia, karena seringnya kecelakaan pesawat berlabel merah putih itu di Indonesia. Lalu pemerintah Indonesia dan mereka yang berkepentingan marah dan tersinggung. Lucu sekali. Seharusnya kita tersinggung untuk sesuatu yang tidak sesuai dengan fakta.

Harus diakui, kesadaran kita untuk utamakan keselamatan masih rendah. Misalnya masih terkait urusan pesawat tadi. Sebuah penerbangan lokal yang join dengan asing, memberlakukan aturan bagasi max. 15 kg dan kabin 1 buah dengan berat max. 7 kg. Tapi apakah penumpang Indonesia memperhatikan aturan ini terkait dengan keselamatan? Tidak, aturan ini dianggap reseh. Berbeda tentunya tanggapan mereka yang mengalami kecelakaan pesawat terbang yang pesawatnya gagal take off karena konon kabarnya kelebihan muatan karena durian.

Dalam proyek-proyek pembangunan gedung maupun infrastruktur, kita sering mendengar terjadinya kecelakaan kerja. Sekali lagi tentu saja karena tidak mengutamakan keselamatan.
Mengutamakan keselamatan tidak hanya memakai pengaman yang tepat dengan cara yang benar tetapi juga seluruh struktur yang ada mendukung keselamatan itu sendiri. Safety first tidak cukup hanya dengan memakai kondom misalnya, seperti yang dianjurkan kampanye iklan 'safe sex'. Karena tidak ada seks yang aman, kecuali dalam ikatan suami-isteri yang sama-sama menghargai kesetiaan dan kesuciaan.

Berkaitan dengan paparan di atas, ada lagi soal keselamatan yang perlu diperhatikan dengan seksama. Karena keselamatan yang kepentingannya melampui imajinasi kita. Keselamatan apa itu? Keselamatan yang first importance. Bunyinya dalam bahasa Inggris begini: For I delivered to you as first importance what I also received, that Christ died for our sins according to the Scriptures and that ... He was raised on the third day ... (1 Kor 15:3-4).

First importance terdiri dari 2 (dua) kata yaitu: First dan Importance. First atau pertama secara urutan berarti ini yang nomer satu, harus lebih dulu, paling wahid. Importance atau penting menunjukkan secara derajat, hal ini menjadi kepeduliaan yang utama, karena ada hal yang penting, kurang penting dan tidak penting. Tapi yang ini penting! Jadi, first importance berarti inilah prioritas utama, hal yang harus didahulukan di atas soal lain.

Jadi apa yang merupakan first importance? Keselamatan jiwa kita! Keselamatan yang diperoleh karena pengampunan dosa-dosa kita. Dosa-dosa kita diampuni karena Kristus telah mati menggantikan kita orang berdosa.

Adakah hal yang lebih penting dari diampuni dosa-dosanya?

Kiranya Roh Kudus menggugah kita untuk melihat keberdosaan kita dan menyadari bahwa pengampunan telah tersedia di dalam Kristus Yesus, Tuhan dan Juruselamat satu-satunya.

Sunday, November 4, 2007

The Wedding

The Wedding. Seringkali menjadi judul sebuah undangan perkawinan. The di depan kata wedding menunjuk kepada suatu pernikahan tertentu karena wedding tentunya bisa berarti perkawinan siapa saja. Tetapi secara pribadi, saya selalu merasa judul tersebut (The Wedding) hanya layak ditunjukkan kepada satu perkawinan yang dianantikan semua orang kudus, yaitu perkawinan Anak Domba Allah (Wahyu 19:7-9).

Saya pikir, hampir setiap perempuan (saya tidak tahu bagaimana dengan setiap pria) memimpikan suatu pernikahan. Hari pernikahan menjadi hari yang ditunggu, hari yang dipersiapkan sesempurna mungkin. Hari di mana si perempuan dinantikan di altar gereja oleh sang ksatria, yang bak juruslamat baginya. Doesn't it sound like fairy-tale?

Yap, we're women love such fairy tale. Mimpi Cinderalla yang menjadi kenyataan.

Oops, jangan salah bukan hanya perempuan yang mencintai dongeng pernikahan, tetapi juga media massa. Bukankah pernikahan Charles, Prince of Wales dengan sang Putri, Diana, serasa dongeng yang menjadi fakta? Seluruh dunia menyorot pesta pernikahan itu yang disebut sebagai The Wedding of 2oth Century. Media massa menyebar mimpi melalui pernikahan pasangan kerajaan Inggris itu.

Bagaimana dengan pernikahan lain? Apakah media massa tertarik? Tentu saja! Perhatikan saja pernikahan para selebriti yang kerap mendapat soroton. Para paparazzi berusaha mendapatkan gambar-gambar pernikahan tersebut karena dapat menjadi komoditi yang menghasilkan untung. Bahkan ada selebriti yang mempatenkan hari pernikahan mereka yang hak siarnya dibeli jutaan dollar oleh media massa tertentu.

Jadi pernikahan memang selalu menjadi hal yang memiliki daya tarik. Terlepas dari pernikahan siapapun itu.

Kembali ke topik di atas, rasanya masih tak rela melepas judul 'the wedding' sekalipun untuk pernikahan akbar seperti Charles dan Diana. Karena tidak ada pernikahan yang dapat menandingi kebesaran, keagungan dan kesakralan dari perkawinan Anak Domba Allah! Inilah perkawinan yang dinantikan setiap orang percaya. Inilah pernikahan yang ditunggu-tunggu oleh orang kudus, pria dan wanita.

Waktu menonton film klasik 'The Sound of Music', melihat pernikahan Kapten von Trapp dengan Maria di gereja yang indah di pinggiran Salzburg, hati bergetar rasanya. Sebuah moment of truth yang dinanti para wanita. Saya pun bertanya pada diri sendiri akankah memiliki saat itu atau tidak. Sejenak merenung, saya tersenyum. I'm going to have the finest wedding ever.

Inilah pengharapan dan impian yang pasti akan menjadi kenyataan bagi setiap orang kudus! Dan sekaranglah waktunya mempersiapkan diri menyambut kedatangan sang Mempelai yang tidak lama lagi.

Soli Deo Gloria.

KATA-KATA: Painted Veil

KATA-KATA: Painted Veil

Sunday, October 28, 2007

Painted Veil

Dalam sebuah adegan film Painted Veil, dr. Fane mengajak masuk Kitty ke dalam sebuah florist. Waktu Kitty mengamati bunga-bunga mawar dan menciumnya, dr. Fane bertanya pada Kitty dan terjadilah dialog berikut ini:

“Do you like flowers?” “Not particularly, no.” …. “Well, I mean, yes. But we don’t really have them around the house.” …. “Mother says, ‘Why purchase something you can grow for free?’. Then we don’t really grow them either.” … “Does seem silly really, to put all that effort into something that’s just going to die.”

Bagi Kitty, membeli mawar yang akan layu dan mati dalam seminggu adalah usaha yang sia-sia. Tapi kemudian dalam perjalanan hidupnya, ia menemukan bahwa memancarkan keindahan bagi sekeliling, meski hanya seminggu, adalah hal yang berharga.

Film ini indah, karena melihat realita cinta apa adanya. Cinta yang disakiti dan dikhianati. Film ini bernilai karena melihat cinta layak untuk diperjuangkan, meski kemudian hanya bisa dinikmati sesaat saja. Film ini berkesan, karena melihat hidup adalah kesempatan.

Pada akhirnya kehidupan dan cinta tidak bisa dinilai dari panjang atau pendeknya waktu yang tersedia untuk itu. Tapi dari penilaian kita akan layaknya untuk diperjuangkan. Kejatuhan tidak harus selalu membawa kepada kehilangan. Tapi kejatuhan bisa membawa pengharapan baru sekalipun samar dan terselubung.

Akhirnya, film ini menggugah nurani karena memberi ruang bagi pengampunan yang membuka aliran bagi pengharapan dan cinta yang baru, cinta yang lahir dari pengertian dan pengorbanan.

Monday, October 8, 2007

Cultural Literacy

Tetapi jawab Yesus:"Pada petang hari karena langit merah, kamu berkata: Hari akan cerah, dan pada pagi hari, karena langit merah dan redup, kamu berkata: Hari buruk. Rupa langit kamu tahu membedakannya tetapi tanda-tanda zaman tidak. (Mat 16:2-3)

Kalimat di atas adalah percakapan Tuhan Yesus dengan orang-orang Farisi dan Saduki yang meminta tanda dari Tuhan. Tetapi Tuhan Yesus mencela mereka - yang mengaku sebagai pemimpin spiritual - yang tidak mampu membaca tanda-tanda zaman. Mereka gagal melihat tanda-tanda yang dinyatakan Tuhan Yesus, tanda-tanda yang menyertai kedatangan Kerajaan Allah.

Orang Kristen harus mampu membaca tanda-tanda jamannya. Harus memiliki kapasitas yang disebut Kevin Vanhoozer sebagai 'cultural literacy'. Cultural literacy sangat penting bagi mereka yang tidak ingin terbawa arus kebudayaan dan tergilas oleh semangat jaman. Orang Kristen harus melibatkan diri secara kristis dan konstruktif di dalam kebudayaan. Jika tidak, kegagalan menafsirkan tanda-tanda zaman akan melahirkan 'the Great Omission' (kelalain besar) dan bukan 'the Great Commission' (Amanat Agung) sebagaimana yang diperintahkan Kristus sebelum naik ke surga. Dan ini adalah sebuah kecelakaan.

Jadi? Masih buta kebudayaan atau mulai melek? Kiranya tulisan singkat ini sedikit memelekkan atau paling tidak mendorong kita ingin melek.