Thursday, April 17, 2008

Eulogy. Lisa: Live, Lupus & Lacan.


Telepon selularku bergetar di hari Sabtu saat rapat. Sebuah sms masuk. Entah kenapa ada desakan untuk segera membacanya. Ternyata sms dari Lisa Lukman, sebuah ratapan:


TanganNya menekanku siang dan malam.
Tubuhku disesahNya.
Tidak sedikitpun Dia memberi kelegaan padaku.
Airmataku sudah kering, tubuhku ngilu,
dan doa-doaku seperti hilang terbawa angin
Tapi aku tetap memilih dekat denganNya
dan biarlah tubuhku hancur karena tanganNya.


Itulah sms terakhir yang kuterima darinya karena Senin dini hari, 14 April 2008, setelah tiga tahun bergumul dengan Lupus, dalam usia 32 tahun, ia kembali ke pangkuan Bapa Sorgawi yang sangat mengasihinya.

Siapa Lisa Lukman? Mengapa saya harus mengenalkannya? Saya akan membagi cerita ini dalam 3 bagian. Bacalah terus cerita saya dan anda akan mengerti mengapa.


LISA & LIVE


Ia sangat mencintai kehidupan. Mungkin karena merasa hidupnya akan singkat. Ia sendiri menyatakan demikian pada saya belasan tahun yang lalu dan menyatakannya lagi seminggu sebelum kepergiannya. Anugrah yang ’aneh’.

Di rumah duka saya bertemu dengan seseorang yang pernah diceritakannya, orang yang memuridkannya pada Kristus semasa SMA di Tanjung Karang. Ko Riko, demikian Lisa menyebutnya, semasa praktek setahun di Lampung berdoa meminta Tuhan memberinya seorang murid. Jadilah Lisa buah pertamanya yang kemudian juga menjadi ketua remaja di gereja tersebut.

Sejak itu Lisa tidak pernah berhenti menyerahkan hidupnya melayani Penebus dan Juruselamatnya, Tuhan Yesus. Ketika melanjutkan studi di Bina Nusantara, bekerja di majalah anak-anak KITA, menjadi pembina remaja di GRII Pusat, menjadi pembicara remaja di gereja lain, menyanyi di JOS serta terlibat dalam berbagai kepanitiaan gereja, Lisa terus aktif dalam pelayanan gerejawi. Selain itu, ia juga ikut kuliah STRIJ, SBWK dan aktif di komunitas RSI yang dipimpin pdt. Joshua Lie yang membawanya mengenal worldview Kristen. Dalam komunitas ini pulalah ia menemukan partner yang lain yaitu filsafat.

Setelah bekerja beberapa tahun di majalah KITA, ia sempat bergabung dalam pelayanan Pdt. Yohan Cam dan Pdt Yung Tik Yung. Sesudah beberapa lama, Lisa kemudian memutuskan untuk bekerja di luar pelayanan grejawi untuk mulai mengumpulkan dana bagi kelanjutan studinya.

Berhenti dari Asian Agri, ia mengejutkan saya dengan keputusannya untuk mengambil S1 Filsafat di STF Driyakara. Lho, mengapa bukan teologi? Sebagai sahabatnya saya menentang ide tersebut. Saya khawatir ia akan seperti sahabat lama saya yang meninggalkan iman Kristennya karena terpikat filsafat postmodern. Tapi dengan yakin ia mengatakan bahwa ini pimpinan Tuhan. Saya tetap tidak yakin. Ini membuat relasi kami sempat memburuk.

Tapi Lisa adalah Lisa. Tidak ada yang dapat merubah keputusannya, kecuali Tuhan sendiri. Ia di terima di STF dan memulai kuliahnya sambil bekerja paruh waktu. Dalam beberapa tahun terakhir hidupnya ia juga aktif di ICRP, sebuah organisasi nirlaba yang giat mengembangkan dialog dan kerjasama antar agama/iman.

Saya jadi tersenyum melihat banyaknya mereka yang memakai atribut agama Islam datang ke rumah duka. Itu adalah wajah Lisa yang lain. Lisa yang anti rasialisme, Lisa yang merayakan perbedaan. Lisa yang mengawali hidupnya dengan mandat Injil dan menutupnya dengan mandat budaya, menjadi sebuah keutuhan yang indah.


LISA & LUPUS


Setahun lebih kuliah, Lisa mendapat sebuah anugrah, sakit Lupus. Lupus? Ya. Belum pernah dengar? Sedikit perkenalan untuk penyakit wanita ini karena yang diserang umumnya adalah wanita dan berusia produktif (15-45 tahun).

Lupus atau ’serigala’ adalah penyakit yang sampai hari belum diketahui penyebabnya namun melibatkan faktor lingkungan dan genetika. Faktor lingkungan yang menjadi pemicu adalah infeksi, antibiotik, sinar matahari, stress yang ekstrim, obat-obat tertentu dan hormon. Anehnya lagi, penyakit ini rada diskriminatif karena yang banyak diserang adalah orang Afrika dan Asia. Tidak jelas mengapa demikian. Hanya Tuhan yang tahu.

Penyakit yang tidak menular ini dikenal sebagai penyakit dengan seribu wajah. Disebut begitu karena simptomnya yang seringkali tidak sama pada setiap orang. Penyakit ini membuat sistem kekebalan tubuh sangat kuat bahkan menjadi membabi buta, tidak dapat lagi membedakan mana lawan mana kawan. Jika Lupus menyerang, ia akan melakukan kapan saja ia mau dan menyerang apa saja yang ia inginkan, mirip serigala sifatnya.

Lupus membawa Lisa mengenal yayasan Lupus Indonesia dan menjadi anggotanya. Yayasan ini pula yang banyak memberikan informasi dan dukungan bagi Lisa dalam berhadapan dengan Lupus. Bahkan beberapa jam sebelum menghela nafas terakhir, rekan-rekan yayasan Lupus sempat membesuknya.

Sempat bercakap-cakap dengan mereka di rumah duka, saya terharu melihat rasa solidaritas mereka yang kuat. Ikatan yang dibangun berdasarkan penyakit. Saya jadi membandingkan dengan orang Kristen, yang sedang dibebaskan dari penyakit kronis yang mematikan yaitu dosa. Dapatkah kita menunjukkan ikatan yang jauh lebih indah? Alkitab mengatakan bahwa orang Kristen diikat oleh cinta Kristus dan merupakan satu tubuh, tetapi mengapa kita seringkali gagal menyatakannya?

Saat diberitahu bahwa Lupus yang dialami Lisa adalah unik - kasus yang jarang - karena menyerang otak, Lisa menangis. Ia tidak takut menghadapi penyakitnya tapi ia merasa tidak sanggup untuk lebih lama lagi hidup dalam belas kasihan orang lain, karena penyakit Lupus adalah penyakit yang membutuhkan biaya yang cukup besar. Saya terenyuh pilu, bukankah dalam 1 Korintus 12:22 dikatakan bahwa anggota tubuh yang nampaknya paling lemah justru yang paling dibutuhkan?

Tiga tahun sudah Lisa terserang Lupus. Dan tiga tahun adalah waktu yang cukup singkat karena penderita Lupus dapat bertahan sampai belasan bahkan puluhan tahun. Tiga tahun sudah Lisa berjuang untuk bersahat dengan Lupus. Sulit sekali katanya, terutama jika sedang mendapat serangan karena serangan Lupus itu melumpuhkan dan sangat menyakitkan, seperti yang diungkapkannya dalam sms-nya.

Puji Tuhan, Lupus tidak pernah dapat melumpuhkan semangat belajarnya, perjuangannya untuk memenuhi pimpinan Tuhan. Sebulan sebelum berpulang, skripsinya selesai dan sudah disetujui. Meski kuliahnya yang hanya tinggal dua bulan tidak selesai, nilai prestasi akademiknya termasuk yang memuaskan.


LISA: LACAN (1901-1981)


Filsuf Perancis ini meneruskan pikiran psikoanalisa Freud. Tapi ia melakukan sejumlah terobosan di dalamnya dan mengawinkannya dengan filsafat sehingga menghasilkan pemikiran yang rumit. Skripsi Lisa yang berjudul ”Aku adalah Yang Lain. Subyek menurut Jacques Lacan” merupakan pembahasan yang menarik mengenai pencarian manusia akan dirinya.

Skripsi Lisa adalah skripsi pertama di STF Driyakara mengenai Jacques Lacan. Skripsi yang telah disetujui oleh pembimbing Lisa, seorang profesor terkemuka di STF, seyogyanya disidangkan 21 April ini. Skripsi yang sudah kelar sebulan sebelum kepergiannya ini mendapat pujian dari pembimbingnya. Bersyukur Lisa sudah mengetahui hal itu dan memberi penghiburan baginya ketika harus melewati hari-hari yang membosankan di rumah sakit.

Saat skripsi itu sudah selesai dan mendapat pujian, Lisa mengatakan pada saya bahwa misinya di STF sudah tercapai. Saya terharu karena misi yang dikatakannya itu adalah kalimat yang sama yang diucapkannya 4 (empat) tahun yang lalu! Misinya? Menunjukkan kepada STF dan komunitas filsafat bahwa seorang yang beriman kepada Yesus Kristus dapat berfilsafat dengan baik.

Di akhir hidupnya, saya melihat potret Lisa Lukman yang lebih utuh. Lisa yang menulis tentang kerumitan pikiran Lacan adalah Lisa yang menggumuli dunia filsafat sebagai bagian dari pengabdiannya pada sang Juruslamat. Lisa yang bergumul dengan penyakit Lupus adalah Lisa yang melihat kesakitannya sebagai salah satu anugrah terindah Tuhan. Lisa yang merayakan keragaman adalah Lisa yang melihat perbedaan sebagai keindahan yang Tuhan berikan.

Dalam enam bulan terakhir hidupnya, saya sungguh merasakan betapa Tuhan telah mengangkat jiwanya ke tempat yang lebih tinggi. Pergulatannya dengan filsafat, penyakit Lupus, dialog antar agama dan keuangan yang terbatas, membuatnya makin mengenal Tuhan dan dirinya di hadapan Tuhan. Puji Tuhan, Ia yang telah memulai pekerjaan baik dalam diri Lisa, Ia pula yang menggenapinya.


Au revoir, Lisa. See you in heaven.


SOLi DEO GLORIA.