Wednesday, August 29, 2007

BUDAYA POPULER: KENALAN YUUKK ….


Benarkah semua budaya sama saja? Tidak ada budaya tinggi atau rendah, yang ada cuma soal selera dan bahwa selera itu relatif adanya? Tapi jika benar selera itu bersifat relatif, mengapa masih ada penilaian bahwa selera yang satu kampungan atau norak, sedang selera yang lain sophisticated? Ini menunjukkan masih terdapatnya sebuah opini yang cukup kuat bahwa budaya itu tidak relatif. Artinya ada budaya tinggi, ada budaya yang subordinasi atau lebih rendah. Sebagai orang Kristen, kita harus mendukung pendapat ini.


Sebagian dari kita mungkin masih ingat kepada istilah roman picisan yang menunjuk kepada novel yang tidak memenuhi standar sastra yang baik. Atau lagu-lagu pop cengeng yang sempat ramai diperdebatkan di era 80an karena dianggap lebih memberikan dampak negatif daripada positif. Jadi? Hal ini sekali lagi menunjukkan kepada kita adanya suatu perbedaan apresiasi seni budaya: ada yang dipandang baik, ada yang dianggap kurang baik.

Di sepanjang peradaban manusia, selalu ada kebudayaan tertentu yang mendominasi suatu masa tertentu. Misalnya pada jaman Yunani kuno, kebudayaan Yunani yang mendominasi adalah kebudayaan yang digolongkan sebagai kebudayaan tinggi (high culture). Sampai hari ini kita masih bisa melihat peninggalan budaya tinggi tersebut misalnya saja patung Venus de Milo yang berada di museum Louvre di Paris. Patung dewi kecantikan Yunani ini menarik minat banyak ahli untuk mempelajarinya. Untuk dapat mengapresiasi Venus de Milo, seseorang harus tahu bahwa patung Venus de Milo dibuat dengan rasio 1:1.16 sehingga dapat menghasilkan sebuah patung dengan kecantikan yang sempurna. Rasio 1:1.16 adalah sebuah rasio estetika yang diterapkan sampai hari ini. Maka patung Venus de Milo mestinya dibuat oleh seorang pematung yang tidak hanya menguasai seni pahat dan anatomi manusia, tetapi juga matematika. Bandingkan dengan lukisan pop art dari Andy Warhol yang mempelopori seni populer. Meski digolongkan sebagai karya seni, lukisan Andy Warhol tidak mendapat perhatian seluas Venus de Milo. Mengapa? Untuk mengapresiasi lukisan Andy Warhol cukup dengan memandanginya saja ...

Sudah mulai menangkap bahwa budaya tidak relatif? Selalu ada apresiasi yang berbeda terhadap hasil-hasil budaya. Ada yang bernilai tinggi ada yang bernilai lebih rendah. Sebagai orang Kristen kita harus percaya bahwa ada standar untuk menilai dan standar itu tidak relatif melainkan mutlak adanya. Mengapa demikian? Karena standar orang Kristen dalam menilai segala sesuatu adalah Firman Tuhan.

Oke, mari kita lanjutkan. Jadi apa itu budaya populer? Bagaimana kaitannya dengan iman Kristen kita?

Budaya populer atau singkatnya budaya pop (dalam bahasa Inggris popular culture atau pop culture) memiliki cukup banyak definisi dan pengertian. Namun secara sederhananya kita bisa mengatakan bahwa budaya pop adalah budaya yang diterima secara luas dalam masyarakat. Umumnya sikap para ahli budaya pop terbagi dua terhadap. Sebagian ahli yang bersikap kritis, memilih menggunakan istilah budaya massa ketimbang budaya pop. Karena bagi mereka, budaya massa atau budaya pop itu tidak lebih tidak kurang adalah sebuah budaya yang menurunkan level selera masyarakat secara keseluruhan sehingga pada gilirannya juga menurunkan kualitas peradaban. Dan media massa dianggap berperan besar dalam menyebarkan budaya ini. Wah, wah ...!


Selain mereka yang bersikap kritis tadi, tentu saja ada juga yang mengambil pandangan positif terhadap budaya massa dan mereka biasanya menggunakan istilah budaya pop. Mereka beranggapan bahwa budaya pop adalah budaya rakyat yang otentik yang menjadi protes simbolik dalam masyarakat kapitalis. Kemudian ada juga pendapat mutakhir yang melihat pengertian budaya pop dari analisis politik hegemoni. Pendapat ini mencoba mengatasi kebuntuan debat antara dua perspektif budaya pop seperti yang disebutkan sebelumnya.

Lalu sebagai orang Kristen bagaimana sikap kita? Haruskah kita memihak salah satu pendapat tadi? Tentu saja tidak. Karena sebagai orang Kristen kita harus senantiasa kembali kepada Kitab Suci dan mengkritisi setiap hal sebelum menerima atau menolaknya. Itu tidak berarti kita mengabaikan pendapat para ahli, namun finalitas penilaian kita haruslah diletakkan atas dasar kebenaran Firman Tuhan. Jadi, ketika artikel ini memakai sebutan budaya pop, penggunaan istilah ini adalah semata-mata karena itulah istilah yang lebih dikenal secara luas.Sebelum melanjutkan perbincangan kita tentang budaya pop, ada perlunya kita kembali melihat kepada kebudayaan itu sendiri. Mengapa kita perlu mengerti tentang budaya? Pertama, karena kita sebagai manusia pasti hidup di tengah-tengah budaya tertentu. Kedua, yang lebih penting lagi, budaya itu terkait erat dengan iman kepercayaan (demikian TS Eliot). Maksud loe? Maksudnya, budaya dan iman adalah dua sisi yang tidak terpisahkan. Budaya merupakan ekspresi iman. Maka tidak ada budaya yang muncul dan berkembang kecuali dalam kaitan dengan sebuah iman kepercayaan (agama). Atau dalam bahasa Paul Tillich, budaya itu adalah suatu ultimate concern, sebuah kepedulian tertinggi dari iman. Dengan demikian, budaya tidak bersifat netral. Selalu ada sebuah pengakuan (conviction) dan semangat (spirit) yang mendasarinya. Baik itu yang melawan Tuhan atau yang memuliakan Dia.

Jadi, kita sebagai orang Kristen harus mewaspadai kebudayaan di mana kita hidup dan berada. Tidak boleh sembarangan menerima sebuah budaya. Karena bisa jadi, budaya yang kita terima itu tanpa kita sadari adalah budaya yang melawan Tuhan. Maka kita perlu bersikap kritis terhadap budaya, khususnya budaya pop yang dewasa ini menjadi budaya yang dominan, yang paling berpengaruh. Budaya tinggi (high culture) dan budaya rakyat (folk culture) sudah mulai dipinggirkan. Lho, maksud loe?

Sebelum budaya pop mendominasi – yang dimulai awal tahun 60an – budaya tinggilah yang lebih menentukan dalam masyarakat. Sedang budaya rakyat hidup berdampingan dengan baik budaya tinggi maupun budaya pop. Budaya tinggi adalah sebuah budaya yang berakar pada antiquitas – alias jaman dulu – yaitu jaman yang memiliki keyakinan akan kemutlakan, kebenaran dan kebajikan. Sedang budaya rakyat, meskipun dalam bentuk (format) yang lebih sederhana, namun tetapi memiliki kebajikan seperti kejujuran, integritas dan komitmen akan tradisi. Nah, kita budaya pop merajalela, budaya tinggi dan budaya rakyat mulai tersingkirkan. Oke, marilah sekarang kita melihat lebih fokus pada budaya pop yang harus kita kritisi itu.

Sembari menulis artikel ini, sayup-sayup dari radio tetangga terdengar sebuah lagu yang sedang populer: ”pap .. pap ... pap ... virus-virus cinta”. Virus cinta? Cinta itu virus? Penyebab penyakit menular? Wah! Bukankah cinta adalah sesuatu yang luhur, indah, agung, menakjubkan, tidak ternilai, karena cinta berasal dari Tuhan bahkan Tuhan itu sendiri adalah cinta? Masa Tuhan jadi virus? Super ngawur! Mungkin ada di antara kita yang mengatakan bahwa itu cuma lagu. Masalahnya bukan cuma, tapi lagu adalah bagian dari seni, seni adalah bagian dari budaya dan budaya adalah ekspresi dari iman. Comprehend? Jadi jangan sampai ikutan menyenandungkan lagu tersebut sambil tanpa sadar menghentakkan kaki tanda syur alias nikmat lagi ... Apa kata dunia nanti?

Jadi, bagaimana? Boleh tidak berbagian dalam budaya populer? Nah ini pertanyaan favorit orang Kristen yang terimbas budaya pop. Sukanya yang mudah dan cepat. Praktis katanya. Oke, mari kita lanjutlan lagi untuk mengenal budaya pop lebih dekat.

Pertama, mari kita melihat sejarah perkembangan budaya pop lebih dulu. Menurut Leo Lowenthal kita dapat menelusuri budaya pop alias budaya massa hingga ke jaman Yunani dan Romawi kuno. Pada masa itu sudah terdapat apa yang disebut sebagai budaya tinggi dan budaya massa. Yang satu dipentaskan di teater, yang lain di tempat sirkus. Masing-masing budaya ini berada dalam lingkungan kulturalnya sendiri, sehingga sampai sekitar Abad Pertengahan masalah budaya pop tidak pernah menjadi bahan kontroversi. Akan tetapi perubahan sosial politik ekonomi serta teknologi yang terjadi sejak awal abad 16-17 hingga abad 20 menimbulkan sikap yang mendua terhadap persoalan seni budaya massa (populer). Menurut Lowenthal, pada abad 16-17 seperti yang diwakili oleh Pascal dan Montaigne, penerimaan dan penolakan terhadap persoalan budaya pop dikaitkan dengan masalah pertumbuhan kapasitas mental spiritual (bersifat religius). Sementara itu pada abad 19 seperti yang tercermin dalam pemikiran Goethe dan Schiller, sikap tersebut sudah menyangkut masalah manipulasi dan eksploitasi ekonomi dalam hubungannya dengan ’misi seniman’ sebagai kekuatan pembebasan. Sedang pada abad 20 selain dikaitkan dengan komersialiasi (kapitalisme) juga soal politisasi para penguasa. Dengan kata lain, kemunculan dan perdebatan budaya pop digerakkan oleh perubahan sosial yang diakibatkan oleh perkembangan teknologi (yang dimulai oleh Revolusi Industri) yang membawa kebangkitan ekonomi pasar (dimulainya kapitalisme).

Dari studi Lowenthal tadi kita dapat menyimpulkan bahwa pada abad 16-17 peran gereja masih cukup besar dalam mengkritisi keberadaan budaya pop. Namun setelah itu gereja seperti kehilangan kekuatannya dalam memberikan penilaian. Karena kemudian yang banyak mengkritisi budaya pop adalah para ahli sosiologi, politik dan filsuf. Sangat disayangkan!

Sekarang mari kita lihat kaitan antara budaya pop dan perubahan masyarakat (sosial). Perubahan sosial ini ditandai oleh Revolusi Industri yang membawa modernisasi yang sering kita anggap identik dengan kemajuan. Revolusi Industri membuat pekerjaan menjadi terspesialisasi. Sebelum industrialiasi, masyarakat feodal umumnya adalah petani. Sebagai petani mereka harus mengerjakan semua proses bertani: mulai dari menyiapkan tanah, menabur benih, menyiangi, merawat sampai memanen dan menjual hasilnya. Begitu mereka memasuki dunia industri, pekerjaan mereka terspesialisasi. Spesialisasi pekerjaan menghasilkan waktu luang sekaligus kebosanan karena tekanan pekerjaan yang monoton. Akibatnya, makin besar tekanan kerja, makin ingin mencari ’pelepasan’. Maka rekreasi menjadi jalan keluar untuk mendapat kegembiraan. Tetapi kegembiraan atau excitement yang dikejar hanya untuk kegembiraan itu sendiri hanya akan meningkatkan keinginan itu sendiri. Alih-alih menjadi jalan keluar, kegembiraan malah menjadi jebakan. Sehingga jika seseorang mencari kegembiraan dalam budaya pop, secara perlahan ia akan membutuhkan kegembiraan yang lebih besar, lebih besar lagi dan lebih besar lagi. Tentu saja para produsen budaya pop akan dengan senang hati melayaninya. Perlu lebih banyak tempat hiburan? Mall? Cafe? Spa? Gadget? Yuukkk ....

Jadi singkatnya budaya pop muncul sebagai konsekuensi ’kemajuan’ industri yang menciptakan tekanan dan kebosanan. Budaya pop sebagai produk modern mencoba menawarkan jalan keluarnya. Tapi apa mungkin budaya pop menjadi solusi?

Satu hal yang perlu diingat, era modern (yang dimulai sekitar abad 17) mengusung semangat filsuf ateist yang bernama Nietszche. Nietszche sangat dikenal dengan slogannya ”God is dead”. Modern adalah sebuah era yang mengabaikan Tuhan dan menggantungkan diri pada rasionalitas sebagai pengganti Tuhan yang sudah dianggap mati. Jadi, bayangkan seseorang yang bosan dan berada di bawah tekanan kemudian menghabiskan waktunya dengan budaya pop! Hasilnya adalah ia akan makin merasa kosong, karena budaya pop tidak bisa menjadi medium untuk mendapatkan makna hidup. Lho? Iya, budaya pop adalah anak kandung modern. Modern adalah era dengan sebuah spirit yang mengeluarkan Tuhan dari dunia. Padahal Tuhan adalah sumber makna dan kehidupan itu sendiri. Got it?

Oke, tadi kita sudah melihat sejarah budaya pop dan spirit yang diusungnya. Sekarang kita mencoba mengenali karakter dari budaya pop. Kenneth A. Myers mengajukan 21 ciri yang membedakan budaya pop dengan budaya tinggi & tradisional. Tetapi karena tidak mungkin untuk membahasnya semua di sini, kita hanya akan melihat 2 (dua) ciri utama budaya pop yaitu novelty (serba baru) dan now (segera atau langsung). Mari kita pelajari satu persatu.


Saat berburu sale di department store, kita dengan mudah akan mendapati adanya barang-barang yang dipajang dengan tulisan new arrival di atasnya. Dan barang-barang yang masuk kategori ini pasti tidak on sale alias tidak didiskon. Mengapa? Karena model terbaru. Yang lama boleh dikurangi harganya, yang baru tidak. Artinya yang baru dinilai lebih tinggi dari yang lama. Hmm, baru ngeh ya? Perhatikan saja: pakaian, ponsel, mobil, laptop, barang-barang elektronik lainnya, semua yang baru, selalu mendapat harga yang lebih tinggi. Demikian juga segala sesuatu yang dikategorikan sebagai model baru. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh CS Lewis bahwa di dalam dunia yang serba mesin ini, seringkali yang dianggap lebih baik adalah yang baru dan yang lama itu clumsy alias kagok. Baru menjadi norma. Pendapat ini pasti sangat ditentang oleh leluhur kita yang mempercayai ’yang lama’ karena dianggap sudah lulus ujian waktu.

Yang kemudian lebih seru lagi adalah orang Kristen juga mulai mengikuti paham ini. Tak percaya? Coba lihat, bukankah banyak orang Kristen yang tertarik pada ajaran baru seperti pengalaman baru dengan Kristus, tata ibadah baru, penglihatan baru, nubuatan baru, bahasa baru (bahasa lidah) dan tentu saja lagu-lagu baru. Yang lama ditinggalkan. Ini tentu saja tidak berarti bahwa semua yang baru tidak baik, seperti halnya tidak semua yang lama baik. Persoalannya tidak terletak pada masalah lama atau baru, tetapi pada apakah hal itu alkitabiah. Orang Kristen harus mampu memilah mana yang baik dan yang berkenan kepada Tuhan terlepas apakah hal itu dikategorikan sebagai yang baru atau lama.

Ciri utama berikutnya adalah now. Kalimat’dapatkan sekarang juga’ atau ’langsung rasakan bedanya’ seringkali didengungkan dalam iklan-iklan. Waktu tidak lagi boleh menjadi halangan. Istilah instant tidak hanya digandengkan dengan mie, tapi juga dengan kredit. Dulu jika seseorang ingin membeli sesuatu seringkali ia harus menabung, tetapi sekarang dengan kartu kredit semua langsung bisa dibeli saat itu juga (asal pagu kreditnya masih cukup tentunya). Instant menjadi idiom penting. Kehadiran perangkat teknologi mengukuhkan kondisi ini. TV, ponsel, kamera digital, komputer, internet, ATM, drive through, pesawat terbang, dll, semua ini membuat kita makin tidak sabaran. Keadaaan serba instan ini juga membuat komunikasi visual berkembang pesat. Akibatnya? Kita kurang suka membaca. Kita lebih suka melihat visual seperti TV, film atau komik. Majalah pun dewasa ini lebih didominasi oleh visual daripada tulisan.

Celakanya, idiom ’instan’ juga dibawa masuk ke dalam gereja. Kita ingin Tuhan segera menjawab doa kita. Kita mau saat ini juga Tuhan menyembuhkan kita. Kata ’proses’ yang merupakan bagian integral dari ajaran Alkitab kurang dikenal. Kita meniru sikap murid-murid Tuhan Yesus – sebelum peristiwa Kenaikan – ingin Tuhan segera memulihkan keadaan Israel yang saat itu berada di bawah penjajahan Romawi. Kita tidak lagi memiliki kemampuan untuk menunggu. Kita kehilangan kapasitas untuk bisa duduk berdiam diri di hadapan Tuhan dan menantikan Dia (Yesaya 40:31). Inilah menjadi salah satu sebab mengapa kita mudah menjadi lesu dan cepat kehilangan gairah dalam mengikut Tuhan.

Kondisi yang menginginkan serba sekarang ini tidak terlepas dari sifat yang namanya ’dangkal’. Karena untuk dapat segera menikmati sesuatu, sesuatu itu harus mudah dicerna alias dangkal. Tidak heran jika di jaman ini orang cenderung memilih yang gampang, yang langsung dapat dimengerti dan langsung dapat dikerjakan. Hubungannya dengan kekristenan kita? Kita tidak menyukai kotbah yang mengajak kita berpikir, kita tidak suka pengajaran teologi yang dalam. Kotbah yang aplikatif, yang langsung dapat dimengerti plus lelucon, itu yang dicari. Bergumul dengan kebenaran, menjadi sesuatu yang dihindari. Terlalu rumit, terlalu lama, kata kita. Yang praktis sajalah...

Tidak heran jika tema yang kemudian ditawarkan oleh budaya pop adalah tema-tema yang umum, yang gampang diterima dengan perspektif yang terbatas variasinya. Misalnya percintaan, sex, misteri, kekerasan, kepahlawanan dan kejayaan. Jadi, jika kita perhatikan produk-produk budaya pop, kita akan menjumpai produk-produk budaya yang relatif terstandarisasi dan homogen yang memang dirancang untuk merangsang kelompok terbesar dari populasi masyarakat. Produsen budaya pop mengabaikan kenyataan masyarakat manusia yang heterogen. Karena itu budaya pop tidak mungkin berorientasi kepada sebuah kepercayaan tertentu – kecuali itu adalah sebuah keyakinan yang diterima luas – karena karena hal tersebut akan membatasi penikmatnya. Akibatnya? Profit bisa berkurang ...

Got it now? Karena itulah, para peneliti budaya pop dewasa ini, hampir tidak pernah mempersoalkan masalah content apalagi estetika budaya populer. Mengapa? Karena isinya memang dangkal, tidak layak untuk dipermasalahkan. Yang banyak mendapat pembahasan justru adalah formatnya. Dan memang format inilah yang menjadi kekuatan yang paling mempengaruhi dari budaya pop. Format yang mengorbankan substansi alias isi.

Jadi, seperti yang dikatakan Dwight MacDonald budaya pop adalah budaya yang semata-mata merupakan obyek konsumsi massa, seperti permen atau kacang goreng, sedangkan budaya tinggi adalah hasil ekspressi individual seorang seniman. Kalau yang pertama semata-mata komoditas impersonal untuk konsumsi massa yang dihasilkan oleh produsen impersonal, maka yang kedua merupakan produk yang bersifat personal dari seorang seniman serius. Contohnya, jika Jane Austen adalah seorang sastrawan yang sedang mengkomunikasikan visi personalnya kepada orang lain, maka Barbara Cartland adalah pengarang yang secara impersonal menjual karyanya untuk dikonsumsi secara massal. Gitu lho...

Lalu, bagaimana kaitannya antara budaya pop dengan media massa?

Dalam jaman pra media massa, bentuk kesenian seperti teater, opera, simfoni bahkan literatur terbatas pada penonton yang lebih terdidik terutama mereka yang berasal dari kelas atas dan bangsawan. Secara kontras, teknologi massa secara dramatis meningkatkan penyebaran seni budaya ke seluruh kalangan masyarakat. Namun yang terjadi bukan penyebaran budaya tinggi tapi justru penciptaan budaya massa yang bersifat komersial di mana aspek artistik dan estetika seringkali dikorbankan (sebagaimana sudah disinggung di atas). Maka kita bisa melihat pengejaran akan yang baru dan sekarang terlihat dalam struktur dan program dari medium budaya pop yang paling penting yaitu televisi. Mengenai televisi sendiri akan dipaparkan dalam artikel yang terpisah

Akhirnya, tantangan bagi orang Kristen adalah menemukan apa artinya setia kepada Tuhan dan bertanggung jawab terhadap sesama dalam era budaya pop. Praktisnya (karena kita semua menyukai yang praktis): apakah kita memilih menonton Les Misrables atau Legally Blonde? Memilih membaca karya sastra atau chicklit? Memakai ponsel low-end dan memakainya sampai rusak karena dipakai hanya untuk sms dan menelpon atau tiap tahun mengganti ponsel karena ada model terbaru? Mencoba mengapreasiasi musik karya Bach atau tidak merasa perlu karena berpikir bahwa Bach hanyalah salah satu pemusik dari Batak sana bah ...

Oke, jadi sekarang sudah mendapat gambaran budaya pop secara umum dong ...?

Setelah mencoba menjabarkan secara singkat apa itu budaya pop dan kaitannya dengan iman kita, hal paling praktis berikutnya yang dapat kita lakukan sebagai orang Kristen adalah dengan menerapkan perkataan rasul Paulus dalam Filipi 4:8. Di situ rasul Paulus menyebutkan delapan nilai yang penting yaitu semua yang: benar, mulia, adil, suci, manis, sedap didengar, kebajikan dan patut dipuji. Perhatikan kata semua alias segala sesuatu, baik yang material maupun spiritual. Jadi segala hal yang kita temui dalam budaya kita, yang tidak memiliki satupun dari delapan nilai tadi, jangan pernah masuk dalam pikiran kita. Lalu bagaimana kita tahu apa itu yang benar, mulia, adil, suci, manis, sedap didengar, kebajikan dan patut dipuji? Pelajari Alkitab! Kemudian, apa yang menjadi kebalikan delapan nilai tersebut supaya kita bisa dengan jelas membedakannya? Pelajari Alkitab! Karena bukan apa yang kita pikir mulia atau yang dirasakan banyak orang sebagai benar yang menjadi standar, tetapi apa yang Alkitab, Firman Tuhan, katakan. Salah satu masalah terbesar dari budaya pop adalah yang menjadi standar baik buruknya sesuatu adalah apa yang paling diminati, yang paling populer, yang best seller.

Jadi rasul Paulus memerintahkan kita untuk memikirkan delapan nilai tadi. Artinya kita diminta untuk bersikap aktif dan tidak pasif termasuk terhadap kebudayaan yang ada. So? So, let’s do it then!

Soli Deo Gloria.


Referensi:


Myers, Kenneth., All God’s Children and Blue Suede Shoes. Christians & Popular Culture,
Crossway Books,
Wheaton, 1989.
Carson, D.A. & John D. Woodbrigde, editor., God and Culture. Allah dan Kebudayaan, Penerbit Momentum, Jakarta, 2002.
Budiman, Hikmat., Lubang Hitam Kebudayaan, penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2002.
Strinati, Dominic., An Introduction to Theories of Popular Culture, Routledge,
London, 1995.